Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Semua Berhak Bahagia, Tapi Bahagia Itu Apa?

 


Di Surabaya, lebih dari 5 tahun yang lalu. Saya membeli makanan kaki lima di depan sebuah Grand City. Ada 2 orang penjual. Saya tak terlalu ingat mereka menjual apa.

Entah apa yang kedua penjual bicarakan sebelumnya. Hanya saja, saat saya menunggu pesanan saya dibuat. Salah seorangnya berkata bahwa sudah menjadi nasib mereka hidup kekurangan.

Saya tidak tahu, seberapa tidak punya ia. Tapi sudah bisa berjualan, bukankah itu adalah hal yang bagus? Ia masih bekerja, masih bisa dapat rejeki.

Saya Pernah Merasa Tidak Bahagia

Kemudian, hidup terus membawa saya berjalan. Sampailah saya di sebuah kota bernama Depok. Saya menjalani pekerjaan guru selama 5 tahun di sana.

Sampai pada satu titik, saya kembali teringat akan dua penjual makanan di depan Mall Grand City yang saya ceritakan sebelumnya. Apakah mereka benar? Apakah saya juga ditakdir untuk tidak bahagia?

Saya merasakan hidup saya stuck. Merasa tak berhanga. Insecure dan seperti tak punya masa depan lagi. Saya seperti tertinggal jauh di belakang. Menjadi orang pesakitan, gagal dalam hidup.

Dalam suasana hati yang tak baik. Saya kemudian membuat status di instagram. Semakin dewasa, bahagia itu terasa semakin ambigu.

Itulah yang saya rasakan. Saya merasa tidak bahagia. Tapi saya juga tidak tahu harus bahagia terhadap apa.

Salah seorang rekan kerja kemudian menimpali secara langsung. Kok statusmu bener banget sih Kak? Aku hanya tersenyum saja. Rupanya bukan saya saja yang berpikir seperti itu.

Berarti benar kalau saya masuk dalam daftar orang-orang yang ditakdirkan untuk tak bahagia?

Bahagia Itu Pilihan

Hidup kembali memba saya berkelana. Saya memutuskan berhenti bekerja dan pulang kampung. Setiap ada orang yang bertanya, kenapa pulang? Sudah enak-enak bekerja dan dapat gaji?

Jawaban saya sama. Saya ingin fokus menulis dan berkebun. Meski sebenarnya tak 100% karena hal itu. Bahkan saya tidak yakin dengan jawaban saya. Meski memang itu benar adanya, tapi saya tak punya kepercayaan diri untuk mewujudkannya.

Alasan lain yang mungkin tidak orang ketahui. Saya sudah putus asa dengan hidup saya. Mental saya tidak sehat. Kemudian saya merasa harus pergi dari Depok. Agar saya punya kehidupan baru.

Apa yang terjadi setelah pulang? Saya tak serta merta sembuh juga. Justru masalah-masalah lain berdatangan. Pengangguran, tak berpenghasilan, dan memiliki tanggungan hutang. Hidup luntang lantung dan menumpang ke sana ke mari.

Kesimpulannya, mau di Depok, mau di kampung halaman, saya tetap saja tidak bahagia.

Cerita lebih lengkap tentang hal ini sudah saya tuliskan sebelumnya. Teman-teman bisa membacanya di sini jika mau.

Bahagia Itu Apa?

Saya hampir tidak punya defenisi tentang apa itu bahagia. Lebih tepatnya saya tidak berani menentukannya.

Dalam pikiran saya, bahagia itu berarti saya bebas finansial. Sementara saya masih punya banyak hutang.

Oh, bahagia itu kalau punya pasangan yang baik dan mencintai saya. Sayangnya saya belum juga menikah meski telah mencari. Bahkan sempat mencoba dating online dan berakhir buruk.

Dan saya tetap dengan sebuah pertanyaan tanpa jawaba. Bahagia itu apa? Kenapa saya tidak bisa merasakannya.

Bahagia Itu Pilihan

Hal yang paling saya syukuri. Seberat apapun masalah saya. Saya belum sampai di titik menyerah. Sehingga saya memutuskan untuk mulai serius menulis dan berkebun saja. Soalnya hanya dua hal itu yang bisa saya lakukan.

Keseriusan saya menulis membawa saya bertemu dengan @ruangpulih. Dalam sebuah program Inner Child Healing Ambassador. Pada program ini saya menerima ilmu baru tentang Inner Child.

Ada 6 kali webinar dan sebuah buku berjudul Luka Performa Bahagia. Program ini masih berlanjut sampai sekarang.

Banyak ilmu yang sudah saya dapatkan. Lalu ada 1 hal yang ingin saya bagikan dengan teman-teman.

Melalui program ini saya jadi tersadar. Bahwa bahagia itu ada. Iya ada teman-teman. Tapi kenapa saya sempat tidak bahagia?

Saya tidak sadar kalau bahagia itu ada pilihan. Tak seharusnya saya menjadi materi dan pencapaian seperti menikah adalah satu-satunya parameter kebahagian.

Meski hal itu penting, tapi karena saya belum bisa meraihnya. Saya bisa mencari kebahagian saya pada hal-hal lain. Misalnya menulis dan berkebun. Jika saya menikmati keduanya, saya juga bisa bahagia.

Serta tak lupa. Sekecil apapun pencapaian saya. Saya harus merasa bangga dan bersyukur. Bagaimana saya akan bisa bahagia dengan pencapaian-pencapaian besar. Jika pencapaian kecil saja tak saya syukuri.

Itulah pengalaman saya teman-teman. Yuk setelah ini, buat standar kebahagian kita sendiri. Tak usah melihat kehidupan orang lain.

Jika kebahagian orang lain bahagia adalah saat makan di restoran. Kamu tak harus merasakan kebahagian yang sama. Apabila kamu bersyukur, makan nasi jagung dan ikan asin di sawah itu juga membahagiakan kok.